Overthingker #1 : Monolog
Cerpen oni yang tak panjang #1
Oni's short story is not long #1
Oni's short story is not long #1
MONOLOG
Karangan Suci Laoni
Huft, pusat tata surya sudah nongol sedari tadi. Pagi
itu aku memang berpapasan dengannya, dengan gaya rambut baru. Ia terlihat sehabis mencukur rambut lurusnya
yang berponi itu menurutku agak cepak sedikit, dan aku merasa sangat segar melihatnya
di pagi hari, secara tak sadar aku terpesona seperti sebelumnya. Saat itu ia
tampak seperti sedang terburu-buru, namun tak dapat kusangka sempat-sempatnya
ia menyapa dan entah sengaja atau tidak tapi sepertinya sengaja salah satu
tangannya menyentuh tanganku yang terdiam kaku. Aku tak memperhatikan tangannya
yang kiri atau kanan, sepertinya tangan kirinya, Ah lupa, tapi entahlah aku
juga tak yakin yang betul yang mana. kemudian aku yang masi terpana menyebut
namanya dengan tersenyum menatapnya mengikuti kemana arahnya ia berjalan. Oiya
aku sedikit merasakan rasa yang cukup dingin dari tangannya walaupun itu sekitar jam sepuluh pagi, namun
bisa saja ia baru saja mandi kemudian langsung ke kampus, ya bisa saja itu
alasan kesegaran tangannya yang dingin masih terasa. Ha? Kenapa aku berpikiran
sampai kesitu? Hadeuh, entahlah. Setelah itu dia berlalu masuk menuju lift. Benar-benar memalukan aku yang
sedang berjalan bersama temanku kelihatan sekali salah tingkah layaknya drama
seorang wanita yang sedang terperenjat pesona pria yang ia idam-idamkan
sebelum-sebelumnya seperti di sinetron epik televisi bertema cinta.
Sebentar,
bicara tentang Pria yang diidam-idamkan menurutku laki-laki ini masuk salah
Kriteriaku, bisa Jadi. Kenapa? Ya muslimah mana yang tak menginginkan seorang
pria yang sholeh. Terutama keluargaku atau Orang tuaku mereka benar-benar
mendambakan menantu yang bertipe seperti ini. Ya, jadi tidak hanya masuk ke
dalam kriteriaku, menikahkan dua manusia artinya menikahkan dua keluarga bukan (
ya aku pernah mengikuti seminar pranikah padahal belum tahu tulang rusukku ini
milik siapa haha). La, ko jadi kesini, eh tapi tetap ada hubungannya si dengan
hal ini. Kemudian kenapa yang kedua aku bisa berpikiran seperti itu? Dia sih
anak pondok pesantren, lumayan kan? Bayangkan saja misalkan aku kenalkan ia di
hadapan keluargaku, terutama kedua orang tuaku, jadi misalkan saja sudah
waktunya aku diharuskan untuk menikah (dari pada di jodohkan lebih baik cari
sendiri bukan haha, la kok berasa di jaman Siti Nurbaya begini) pasti dan yakin, aku jamin secara otomatis ia
di terima dengan senang hati sebagai menantu di sini hehe ( ke-Pede-an sekali
aku ini belum tentu ia jodoh mu pula, ya kan misalkan sudah diamlah kau). Lalu
kenapa kalau itu bisa saja terjadi ? Salah satu alasan terpenting karena
keluargaku memang memprioritaskan menantu-menanu yang agamis. Jadi, dia bisa
lah masuk kriteriaku walaupun entah dia jodohku atau bukan, suatu saat nanti.
Ha? Aku tak menyangka, sejauh ini pikiranku, gila sih. Mantap sekali haha.
Memang,
dia tak pernah berbincang lama denganku,
hanya ada kesempatan di sebuah seminar waktu itu dan kita hanya mengobrol
sedikit entah aku lupa-lupa ingat apa
yang kita bahas, tidak seru pula bahasannya, tapi aku senang saja bisa
mengobrol secaraa tatap muka sedikit lebih lama dari biasanya. Ya, kita memang
mengobrol sebelumnya, namun lebih sering berada di dunia maya. Melalui sosial media
yang di gunakan para anak muda anak bangsa, anak ibu bapaknya juga, kita sering
chatting dan terkadang membicarakan atau membahas sesuatu, anaehnya
ada saja yang di bahas, apakah ia tertarik padaku jadi terkadang ia mencari
bahasan agar kita berdua saling bertukar pendapat ? jawabannya bisa jadi, tapi
sayangnya aku ke-Pede-an sekali haha. Betapa introvertnya laki-laki itu. Aku, walaupun
extrovert untungya termasuk kedalam type yang dapat menyesuaikan diri.Nah, aku
bisa tahu karena kita juga pernah membahas personality
mengenai kepribadian seseorang. Ya, ini bahasan yang menarik pula yang
sering kita lakoni.
Ah
apa yang ku pikirkan, lelaki itu tak memprioritaskan mu sekitar 80%. Buktinya
waktu di perpustakaan dia mencari-cari alasan sibuk mengerjakan tugas barunya,
padahal bisa saja itu terlalu mudah untuknya ataupun sebetulnya dikumpulkan
minggu depan, kan bisa di kerjakan keesokannya lagi. Lagian dia bisa ke perpustakaan lagi
keesokannya kan. Namun, namun! Bayangkan! kenapa dia menginginkanku dan mengajakku untuk
pergi ke perpustakaan fakultas psikologi untuk mencari buku yang ia inginkan
,yang mana tak jauh dari fakultas kita ini. Setelah itu aku tanyakan padanya apakah ia mengajak teman-temannya pula,
kemudian ia membalas dan menjawabnya, “ Tidak, hanya kita berdua kok”. Ok, Baik,
coba saja jika kutanyakan tentang hal
ini pada wanita-wanita seumuranku aku jamin mereka akan berpikir kalau hal itu
benar-benar akan membuat seorang wanita termasuk wanita sepertiku akan terbawa
perasaan? Ya! Benar sekali itu terjadi dan akupun pastilah merasakannya. Sedih
sekali, yah karena aku takut sakit hati nantinya. Terjebak dalam dunia romansa,
mengharapkan rasa cinta, tanpa tahu kebenarannya, apakah ia juga punya rasa
yang sama.
Awalanya
aku cukup tak menyangka ia akan melakukan hal itu, walaupun itu cuma hal
sederhana yang bisa saja tujuannya mengajakku hanyalah sebatas partner membaca
belaka. Aku melihat dari sisi lain, katakanlah ketika ini dapat saja terjadi,
bayangkanlah kalau kita akan salah
tingkah saat mencari buku bersama-sama diantara rak-rak buku dan aku terlihat
begitu kikuk di hadapannya. Lalu kalau
begitu apa yang harus aku lakukan? karena aku tidak dapat mengendalikan diriku
sendiri di saat kondisi seperti itu. Dan
bisa saja itu terjadi, aku salah tingkah lagi menatap matanya yang cukup tajam saat
kita membahas isi sebuah buku bersama (asal kau tau saja! Aku bisa saja pingsan
karena matanya seperti sinar laser yang ada di kartun superman, ya mirip itulah
maksudku). Atau sebetulnya! Apakah itu cara dia untuk mendekatiku lalu menembak ku setelah itu? Ya
tuhan, aku ini kenapa?! haha. Sebentar perihal tadi kisaran 80% itu dari mana?,
ya intinya seperti itulah hanya perkiraanku saja wahai aku. Bagaimana aku mengetahuinya?
pikir saja sendiri. Oiya! Jangan bodoh Berarti aku sendiri lagi yang akan memikirkan, memangnya aku berbicara dengan
siapa lagi. Rasanya pusing sekali memikirkan hal-hal besar seperti ini,
padahal hal kecil seperti ini.
Sempat-sempatnya aku ini, hal ini beroposisi sekali untuk taraf pemikiran
seorang mahasiswa ketika membahas bagaimana harus menabung , mempertahankan
nilai IPK, mengatasi masalah ekonomi,
kebakaran hutan, bencana alam, mencerdaskan dan memajukan anak bangsa melaui
pendidikan dan kebudayaan?. Baiklah aku pikir masih panjang lagi dan bisa di
teruskan pula, cukup dulu untuk bahasan ini.
Betul-
betul jadi ini aku sedang terkena virus mungkin, virus cinta haha. Dasar Romansa!
Manusia-manusia di bumi hampir gila
karena hanya memikirkanmu. Mana aku
sedang banyak tugas, lalu kenapa tiba-tiba aku memikirkannya. Entahlah,
sepertinya sudah cukup. Mungkin bisa saja muncul kembali untuk ku pikirkan lagi
setelah beberapa waktu ini. Aku harus beranjak dari kursi ini, berpindah tempat
untuk berkujung ke pintu lain pikiranku, aku sedang keluar untuk mencari papan penanda sebuah pintu-pintu pikiranku
itu yang bertuliskan My Tasks! dan
bagaimanapun aku harus menuju kesana dan memastikan aku benar-benar berada di
sana. Semuanya harus terselesaikan sesegera mungkin dan sebisa mungkin aku tak
terlalu membuat tugas-tugasku menjadi beban bak ember cuci yang harus ku gotong
setiap ke kampus. Inilah mindset yang
haru ku bawa setiap saat, aku memang harus berpikir seperti itu, seberat apapun
tugas kuliahku merupakan hal yang akan meningkatkanku ke level yang lebih
tinggi. Ya bukannya menggampangkan suatu hal, aku hanya harus merasa enjoy saat
mengerjakan semua itu dan pada kenyataannya di perlukan oleh mahasiswa
sepertiku.
“Hey! Apa yang kau lakukan disini, Na? Tak biasanya, Tatapanmu
kosong sekali seperti rumah hantu hahaha”
“ Tak kenapa, aku hanya berbicara pada diriku sendiri,”
jawabku dengan tak bersemangat seperti mau disuntik mati.
“ Berbicara sendiri bagaimana? Orang kamu hanya terdiam
termenung menyeramkan seperti itu” Rintik menjelaskan.
“Rin, bukan maksud kepalaku jadi besar, tapi asli deh kau
perlu banyak baca,”
“ Maksudmu?” Penasaran serta agak terkejut.
“ Ya memangnya Istilah berbicara sendiri itu harus
bersuara?! Aku sedang berbincang dengan batinku” jawabku bernada remeh mencoba
mengingatkan.
“ Ehehe, seperti itu maksudmu, haha maaf sekali aku baru
memahaminya baiklah! Tapi kenapa mukamu serius seperti itu? Memangnya apa yang
sedang kau bicarakan dengan dirimu sendiri, Na?”
“Ya ada sedikit pasir-pasir yang mengganguku tiba-tiba, namun sedang ku bersihkan dari pikiranku”
wajahku menghadap Rintik dan sedikit memposisikan untuk tegap.
“Sini
aku ingatkan wahai Rona ku, kau kan meskipun mahasiswa Sastra Inggris, tetapi
sisi Psikologmu cukup membuat orang terkagum, nah bukannya menyimpan masalah
itu tak baik untuk kesehatan bagi para makhluk yang memiliki derajat tertinggi ya?
Berceritalah jika kau mau, kau tak menanggung beban mu sendiri jika membaginya
padaku” menepuk pundaku dan menahannya mencoba menasehatiku.
“ Ya kau Tak salah, terimaksih, Rin. Namun tak mengapa
lagi pula masalah seperti ini tak
sebesar Gunung Everest kok hehe, akan kucoba selesaikan sendiri.
“
Baiklah, sepertinya perutku sedang mementaskan seni keroncong, aku merasakannya
saat jam-jam terakhir kelas Pak Hilmi tadi. Ikutlah denganku, temani aku makan
siang di ayam ngamuk. Sekalian Aku ingin membicarakan suatu hal padamu. Jadi
tentang suatu project antara sastra dan musik, aku yakin pasti kau tertarik, dan
sudah kupikirkan sejak beberapa waktu yang lalu. Project ini cukup lumayan
menurutku, kita bisa berekspresi di karya yang akan luar biasa ini Yuuhu!” Ia
begitu bersemangat di tengah kesunyian alam semesta sekitar kampus ini, dan sedihnya
aku masi terdiam walaupun begitu suara Rintik masih terdengar, entah apa yang
aku pikirkan lagi saat itu.
“
Sebetulnya aku tidak ber mak..”
“
Hey Ronaa, tenang saja aku traktir kali ini. Mana mungkin aku tak tahu kau
sedang dalam masa-masa akhir bulan kan? Hahaha ” Berdiri dan menarik tanganku.
“
Yah, Baiklah. Terimakasih. Aku samakan saja dengan menumu ya nanti” Tanganku
kananku masih tergandeng olehnya dan aku mencoba mengingatkan saat kita hampir
masuk ke lift untuk tutun ke bawah dari lantai lima.
Hari
itu yang tak kusangka jadi terakhir kalinya kuliah tatap muka secara langsung.
Ya itu terjadi karena wabah yang tak henti-hentinya melahap layaknya api dan
manusia adalah sesatu yang terbakar olehnya. Namun, dunia belum berakhir,
karena setelah hari itu, lembaran baru
dan suasana baru sistem perkuliahan yang tidak biasa kami lakukan dimulai. Dan
sampai sekarang harapan-harapan terus berdatangan semoga ada titik penerangan
di hari kemudian.
22/04/2020
Ketika harapan-harapan yang berlebihan bercerita..... :'D
Comments
Post a Comment