Sastri 2 : Kau dimana?
Sastri 2
(Sekuel Cerpen Sastri : Narasi Tentang Prosa oleh Hilmi Akmal)
Karya Suci Laoni
(Titik awal cerita dimulai dari tokoh aku yang berteriak-teriak memanggil
nama Sastri di tengah hujan yang menderas. Dasar ceritanya adalah apa yang
terjadi dengan Sastri dan Tokoh Aku Setelah peristiwa di akhir cerpen Sastri).
“Sastri…” aku berteriak memanggil. Gumaman
langit makin riuh berubah menjadi gemuruh. Senyap. Tak terdengar jawab. Awan
bunting mulai kontraksi, luncurkan rinai ke bumi.
“Sastri…” sekali lagi kuteriakkan
namanya. Tirai rinai yang tipis menggila menghebat. Kucuran langit semakin
lebat. Aku berdiri mematung. Dunia terasa makin murung. Kilat meraung-raung.
“SASTRIIIII…”
Aku berhenti meneriaki namanya setelah beberapa saat
karena aku merasa sakit kepala, tak ada balasan pula, dan tak guna. Aku merasa
sangat kacau pada saat itu. Hujan semakin deras sehingga tangisanku tak
terlihat olehnya,ia seperti sedang berempati betapa sedihnya aku kehilangan
Sastri. Kedua kakiku begitu lemas tak
berdaya, kerdua tangan menahan aku yang mencoba untuk duduk karena tak kuat
berdiri terlalu lama. Wajahku tertunduk dan air hujan mengucur pula di
hidungku. Aku tak tahu harus apa sekarang.
Di tengah kekacauanku, dari
kejauhan seorang laki-laki berjaket dan bertopi berlari menghampiri aku yang
duduk bertekuk lutut di tengah bisingnya suara hujan yang mengguyurku terus
menerus.
Ia membawa payung merah dan
hitam sambil menyorotiku dengan heran sejak dari kejauhan. Aku yang hampir tak
terlihat karena sudah petang ditambah hujan yang seperti kabut memudarkan
membuat lelaki itu terus menyorotiku sampai aku terasa silau karena cahaya
senter tersebut. Sepatu hitamnya memelan melangkah menginjak genangan air
sekitar air dan meninggalkan jejak yang langsung menghilang. Ia berlutut di
hadapanku dan mencoba memayungiku degan membuka payung hitamnya yang masiht
tertutup. Senter bertali yang dibawanya
ia kalungi di lehernya segera.
“ Hai! Apa yang telah terjadi?
Sedang apa kau disini? Disini hujannya sangat deras. Kau bisa ambil payung
milikku” suaranya agak berteriak mencoba mengalahkan gemuruhnya petir dan
bisingnya hujan. Aku masih terdiam menangis dan tertunduk.
Ia mendongak meninggikan
badannya, melihat sekeliling sejenak.
“ Mobil siapa itu yang
menabrak? Apakah itu milikmu?” Tangannya masih memegang bahuku. Aku merasakan
ada yang terkucur dari dahiku, lalu lelaki itu mencoba menyibak poni rambutku segera
dan terlihat tangannya penuh darah milkku bercampur air hujan.
“ Ya Tuhan kepalamu terluka!,
ternyata kau baru saja kecelakaan dari
mobil”. Dengan terkejut dan kecemeasan di raut mukanya, lelaki itu dengan
segera mencari handphone di saku
kanan celananya dan menelpon seseorang.
Ia yang masih memayungiku
sambil berbicara pada dua orang berbeda entah siapa mereka dan suara obrolan
tersebut dengan tak jelas aku mendengarkannya.
“ Tunggu sebentar, kau tak usah
khawatir aku baru saja menghubungi ambulance
untuk membawamu kerumah sakit dan polisi yang akan mengurus mobilmu”.
Beberapa menit kemudian sirine ambulance muncul. Suaranya yang cukup
bising itu semakin keras ketika menghampiriku. Mobilnya terhenti beberapa meter
tepat di sampingku. Lampu sirine merah diatasnya yang berputar putar masih menyala meski suaranya telah terhenti. Penjaga
dan sopir ambulance yang mengenakan jas hujan keluar dengan segera dari pintu
depan mobil itu dan membuka pintu belakang. Sebuah ranjang hijau berbahan dasar
kulit dikeluarkan. Kedua lenganku tertuntun oleh mereka berdua sampai akhirnya
aku duduk. Ranjang dan akupun dengan segera dimasukkan kedalam mobil tersebut.
Udara di luar dan di dalam
terasa begitu berbeda karena aku mulai kedinginan sehabis terguyur hujan deras
itu. Lelaki tadi menutup payung-payungnya dan
ikut masuk bersama kedua payung dan senter miliknya yang ia bawa. Entah
aku merasa bersyukur saja ditemui olehnya, jika ia tak ada bagaimana nasibku
mungkin tak tertolong seperti ini.
Sebelum pintu belakang
ambulance ini tertutup tiba-tiba suara mobil polisi datang. Setelah beberapa
saat aku harus mengeluarkan KTP dan SIM, kemudian salah dari petugas kepolisian
itu memfoto dan menyerahkan kembali dengan menitipkan kepada lelaki itu.
Wajahku yang disinari kedipan
Sinar biru dari lampu sirine mobil polisi yang ada tepat beberapa meter
dibelakang ambulance ini. Aku yang masih terduduk diatas ranjang, saat akan
ditutup salah satu petugas ambulance menyuruhku untuk berbaring dan setelah
beberapa saat dengan segeara mereka segera memberiku infusan. Sopir segera
masuk kepintu depan.
“Apakah semuanya sudah siap?!”
wajahnya menengok ke kursi belakang dimana ada aku yang terbaring, lelaki tadi
yang duduk disampingku bersama dengan petugas ambulance satunya.
“ Sudah pak! Langsung nyalakan
saja mesinnya,” tegas petugas itu.
Sopir itu mencari sabuk
pengaman dan segera memanaskan mesinnya. Badanku merasakan getaran mobil yang
perlahan melaju.
“Tunggu sebentar, jadi
bagaimana dengan mobilku?” aku tersontak mencoba untuk bangun.
“Tenang, mobilmu sudah diurus
kepolisian, mereka sudah meminta datamu dan menggunakan nomor teleponku untuk
dihubungi. Jadi tak ada yang perlu kau khawatirkan. Oiya, namaku Bayu,” mencoba
menenagkanku, tangannya menepuk-nepuk bahuku sehingga aku terasa seperti
dipaksa terbaraing. Baju ku yang yang masih basah terguyur hujan berpertir tadi
membuatku semakin kedinginan terasa seperti habis berendam dikolam renang
selama 1 jam, sehinnga jari-jari tangan yang aku genggam terasa semakin kisut.
“Baiklah terimakasih, Ba..bayu”
aku merasa sedari tadi merepotkan orang itu, padahal bukan siapa-siapa,
tetangga? Bukan, saudara? Bukan, tak kenal? Iya.
Mobil ambulance yang kita
tunggangi ini masih melaju dengan kecepatan tetap dan aku merasa heran dengan
sekitar. Mataku menatap sekeliling, kanan, kiri, dan atas semuanya terasa asing
karena ini pertama kalinya seumur-umur naik mobil pengangkut korban ini. Aku
begitu bersyukur selamat walaupun luka-luka sedikit. Namun kekecewaan masih
menggerogotiku dan menghantui aku yang sedang kehilangan Sastri. Entah di mana
ia sekarang, aku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa untuk mencari
keberadaanya. Aku benar-benar merasa terpukul jika ia ternyata telah diculik oleh
orang-orang tak dikenal tadi. Namun aku
harus bertanggung jawab atas dirinya, kekasihku aku berjanji akan kutemukan ia
setelah selesai pulang dari rumah sakit. Mataku kupaksakan terpejam dengan
penuh keyakinan akan janji tersebut.
Saat ini aku tak bisa menjelaskan apapun
kepada mereka. Aku hanya sedang tidak terima akan semua ini. Tiba-tiba saja
terjadi dan menimpaku. Benar-benar tak mungkin kronologinya apalagi termasuk
perihal Sastri ku jelaskan secara langsung kepada orang-orang yang sedang
menolongku ini, apalagi mereka tidak kukenali secara jelas.
Aku semakin mengantuk dan
mataku terpejam lampu mobil di atas kepalaku semakin terlihat buram dan aku tak
sadarkan diri. Ah sepertinya membiusku. Saat mataku terbuka semuanya terlihat
semakin jelas dan begitu berbeda, rasanya seperti terbangun dari mimpi setengah
hari. Aku terbaring diatas ranjang dengan suasana ruang inap dirumah sakit
menyelimutiku dan aku telah diberi perban di dahiku. Seorang suster
menghampiriku, ku kira ia Sastri. Lalu ia menyuruhkuku dan memberitahuku untuk
mengganti pakaian inap sementara untuk penginapan selama sehari. Ia memberikan
baju atasan dan celana bawahannya yang
berwarna biru.
“Mohon maaf Kak, silakan bisa
diganti pakaian basah yang kaka pakai
dengan baju ini untuk penginapan sampai besok.”
“ Baik suster, terimakasih. Oh
ya, untuk administrasi penginapan ini seperti apa ya?”
“ Oh
administrasi ya kak. Sudah di urus oleh kakak yang datang bersama kaka tadi.”
Baiklah
sudah kuduga pasti Lelaki itu, ini benar-benar menakjubkan aku bergeming dan
heran sejenak, mengapa ia begitu baik sekali dan sangat peduli padaku serasa ia
adalah saudara kandungku. Saudara keluarga juga bukan apalagi saudara kandung.
Tapi tunggu sebentar apakah ini perasaanku saja kalau wajahnya terasa agak
mirip dengan, Sastri? Ah itu feeling
ku saja yang aneh. Aku benar-benar merindukanmu sastri, entah dimana kau
sekarang. Kau membuat aku seperti kehilangan sesuatu dalam jiwa ku.
“ Apa?!
Baik Sus, terimakasih banyak atas infonya. Apakah kau tahu dimana ia sekarang?”
“ Oh dia
sedari duduk didepan sembari membuka handphone-nya,
apakah ingin kupanggilkan ia kemari?” ia yang terlihat muda tersenyum manis
hampir sama dengan Sastri. Namun kecantikan sastri bagiku tak terkalahkan oleh
wanita selain dirinya.
“ Yah,
betul sus, terimakasih banyak sekali lagi,” aku tesontak dan perawat itu
meninggalkanku melalui pintu di balik tirai hijau yang menjadi sekat ruangan
ini.
Berbicara
tentang handphone aku baru mengingat,
dan langsung dengan terburu-buru aku mencari hanphone-ku yang tadinya ku sisipkan di kantong belakang sebelah
kanan. Tak kusangka keberadaannya masih ada. Aku mencoba menyalakan gawai
milikku ini yang sudah mati kuhidupkan lagi. Betapa terkejutnya aku tak sangka
karena aku yang tadi terguyur hujan deras
dan handphone ku masih bisa menyala
dengan normal. Saat handphonenya sedang menyala tiba-tiba lelaki tadi yang
bernama Bayu itu datang menghampiriku dengan tersenyum.
“ Apakah
kau sudah baikan?”
“ Ya,
aku terasa lebih baik dari yang tadi, Terimakasih banyak telah membantuku.”
“ Kau
belum mengganti baju, silahkan kau ganti dulu saja bajumu baru kau bisa
ceritakan apa yang telah terjadi sebelumnya. Kalau tidak kau akan kedinginan.”
“Baiklah,
tunggu sebentar ya”
Setelah
beberapa menit kemudian, selesai mengganti baju aku menemuinya di ruang rawat
inap sedang membuka gawainya dan duduk dikursi tepat di kursi dekat ranjang
tempatku berbaring tadi, aku perlahan melangkah masuk.
“ Maaf
lama ya, Bay? Aku tadi sekalian membersihkan badanku di kamar mandi, hehe” aku
yang sambil berjalan agak terpincang-pincang karena kaki kananku ada yang
membiru seperti hatiku saat ini.
“Oh
tidak masalah, apakah kau butuh bantuanku?!” tegasnya sambil menawarkan bantuan
kepadaku agar bisa melangkah kemudian naik ke ranjang.
“ tidak,
tidak masalah. Ini tidak terlalu sakit,” senyumku yang ragu mencoba meyakinkan
wajahnya. Dan kemudian aku mempercepat langkahku untuk sampai di ranjang
sebelum ia hendak menujuku karena ia sudah berdiri.
Setelah
aku duduk sila menghadap bayu, kita saling memperkenalkan diri kembali satu
sama lain layaknya anak-anak yang ingin memperkenalkan dirinya pada teman
barunya. Dan saat aku mencoba meminta menjelaskan siapa dirinya itu, dia pun
menjelaskan sejelas-jelasnya seperti sebuah skenario cerita yang tak disangka
saja. Aku baru saja mengetahui kalau kita satu kampus denganku. Ya dia temanku
ku sekarang dan ia bercerita bahwa terkadang sering melihatku saat ada di
perpustakaan bersama dengan Sastri, walaupun ia belum mengetahui siapa Sastri
dan hanya menyebutkan seorang perempuan yang rambutnya panjangnya sebahu, sudah
kutebak siapa lagi kalau bukan Sastri. Aku pun memberitahu kalau itu Sastri,
kekasihku. Kemudian saat setelah itu ia menanyakan bagaimana aku bisa
kecelakaan ditempat agak sepi seperti itu. Sebelum aku mulai menjelaskan mataku
mulai perih seperti tersiram air raksa tak kasat mata yang datang entah dari
mana, aku tertunduk lalu mendongak keatas mencoba memasukkan kembali air mataku
yang hampir keluar dari kelopak mataku. Menarik dan menghela napas akupun
menceritakan semuanya tentang kronologisnya bagaimana aku celaka sesuai dengan
kenyataan yang terjadi seperti sebelumnya aku alami, di hadapan teman baruku yang begitu baik dan
tulus bagai malaikat yang tak bersayap yang mau menolongku.
Terutama
tentang Sastri secara singkat aku ceritakan berawal kami yang sepulang dari
perpustakaan, dan dua pria aneh nan misterus yang mengintil kami berdua saat
jalan pulang ke arah rumah Sastri. Semua kuceritakan layaknya kilas balik sebuah
cerita-cerita kisah cinta sadis dalam
novel-novel atau cerpen-cerpen kisah cinta miris yan pernah kubaca. Saat
aku sambil bercerita ekspresiku yang tak karuan itu sesekali menatap wajah bayu
yang begitu tulus mendengarkan penjabaran disetiap kejadian yang aku sebutkan.
Dengan penuh keseriusan sampai-sampai alis di dahinya itu mengerut layaknya
rona wajah yang ikut berbicara bahwa ia
turut bersedih atas aku yang sedang kehilangan Sastri entah dimana ia sekarang.
Sampai
pada ujung cerita karena kita berdua tidak ada mata kuliah sampai keesokan
harinya, Bayu si malaikat tak bersayap ini akhirnya rela menemaniku untuk
menginap sampai esok aku selesai dalam perawatan di rumah sakit ini. Setelah
sekitar dua jam berlalu yang berisi waktu kita untuk berbincang dan jam kecil
di meja kecil dekat ranjangku menunjukkan pukul 08:25, aku tiba-tiba saja
berkeinginan untuk me-refresh jiwa
ini yang agak sedikit tertekan atas kejadian tak terduga ini yang membuatku
cukup stress.
“ Bay,
sebetulnya aku ingin jalan-jalan keluar ruangan ini hehe. Aku hanya sedikit butuh
penyegaran untuk pikiranku ini.”
“ Oh
perlukah aku temani? Sekalian ku pesankan makanan nantinya, karena kita yang
hanya menghinap sampai esok tak dapat jatah makan dari rumah sakit. Ada kantin
umum dekat ruangan ini, kita bisa membelinya sesuai yang kau inginkan.”
“ Yah
tak masalah jika kita tak dapat makan dari rumah sakit. Lagi pula, luka ku tak
terlalu parah jika aku memang harus di rawat berhari-hari disini. Aku juga
ingin berterima kasih pula kepadamu telah menalangiku untuk membayar biaya
penginapan ini. Aku masih heran padamu, kau begitu baik sekali padaku, padahal
kita bukan saudara kandung hehe.”
“Talangi
bagaimana?! Tidak, kau tidak perlu mengganti uangnya. Jika kau memberikannya
lagi pula aku tak akan menerimanya. Oiya tak apa kita kan teman satu kampus ini
sekarang, sudahlah kau berkali-kali mengatakan hal itu kepadaku, saudara
kandung atau bukan kita kan sudah teman sekarang. Sudah tidak usah dibahas lagi
tentang hal ini. Ayo sebelum terlalu larut kita langsung ke kantin saja, kau
harus makan.”
Bayu
menuntunku dengan memegang bahuku saat turun dari ranjang sampai kami berdua
berjalan keluar menuju ruangan. Entah kenapa aku merasa agak sedikit sesak
sepertinya karena efek dari kecelakaan tadi dan Bayu langsung khawatir seketika
saat aku terhenti berjalan dan aku memegang dadaku. Saat rasa sesak itu
menghilang perlahan ia memastikan aku tidak kenapa-napa, setelah itupun kami
pun melanjutkan untuk menuju kantin yang sudah didepan mata.
Saat
kami hampir sampai, kami memperhatikan seorang pasien dari sisi kanan kami
berdiri yang sepertinya baru masuk rumah sakit ini, dengan berselimut kain ia
terluka cukup parah terlihat darah mengucur di dahinya dengan menggunakan
oksigen bersama beberapa perawat yang mengantarnya sambil berlari kecil
bergegas ke arah ruang ICU yang ada di ujung lorong ini. Aku tak sengaja
menatap wajahnya, tak begitu asing saat aku mengikuti arah ranjang itu
berjalan, rambutnya yang sebahu tergerai agak sedikit kusut, hidungnya yang
bangir mata indah yang tertutup dan alisnya yang tebal, oh tidak jangan sampai
ini, Kekasihku. Aku langsung berlari terpincang-pincang mengikuti ranjang itu berlari
dan Bayu ikut mengejarku dari belakang. Aku benar-benar tak kuasa jika ia
benar-benar Sastri yang aku cari. Ya tuhan, aku semakin menyadari kalau itu
dirinya saat aku mencoba berlari mengikuti ranjang itu di dorong. Aku telah
melihat wajah cantik seorang wanita yang terluka parah. Sambil berlari aku tak
kuat lagi membendung air mata yang semakin berkucuran membasahi pipiku ini.
Saat akan masuk ke ruang ICU aku terkejut karena tertahan tak bisa ikut masih
ke dalam ruangan itu.
Bayu
menahan ku dan menyentuh bahuku setelah ia agak tersengal-sengal mengejarku
dari belakang. Ia mengarahkanku untuk duduk dekat kursi tunngu di depan ruangan
itu. Kami berdua duduk dan ia menuntunku untuk duduk. Mataku menatap kosong dan
guratan di wajahku masih tersisa bekas air mata yang baru saja membasahi
pipiku, aku masih belum bisa menerima
semua ini. Aku masih tak bisa berkata-kata apapun setelah itu, kemudia Bayu
menatapku.
“
Tenangkan dirimu, tenangkan. Apakah ia, Sastri?” Bayu menatapku dengan
terkesima dengan penasaran da mencoba menenangkanku.
Aku
langsung menghadap Bayu dan memeluknya. Tangisaku yang menjawab pertanyaannya
membasahi kaos Polo di bahu sebelah kirinya.
Setelah beberapa saat aku melepaskan pelukan itu dan Bayu menepuk-nepuk
pundakku.
“
Tenanglah, berdoalah semoga ia akan baik-baik saja. Tunggu perawat selesai
mengurusnya sampai ia keluar, setelah itu kita akan izin untuk menjenguknya.
Kuatkan dirimu.”
Aku
masih bersandar di kursi tunggu itu setelah sekitar kurang lebih satu jam kita
tak jadi pergi ke kantin. Seorang perawat keluar dan menutup pintu ruangan itu
dan aku lebih dulu mencegatnya bersama Bayu yang menyusul dan memegang bahu
kiriku.
“ Suster
apakah ia bernama Sastri ?” tegasku sambil menatap perawat itu.
“ Ya ia
bernama Sastri, jika ingin menjenguknya hanya di perbolehkan sekitar satu jam,
setelah itu kalian boleh keluar. Apakah
kalian saudaranya? Ia di temukan oleh polisi di jalan raya tergeletak setelah
diketahui jatuh dan sengaja melompat dari sebuah motor saat bonceng tiga
bersama dua orang lelaki saat seorang saksi melihatnya.”
Aku tak
kuasa kembali mendengarkan penjelasan dari mulut perawat itu dan segera berlari
masuk ke ruang tersebut. Bayu menyusul di belakangku.
“ Baik
sus, terimakasih atas penjelasannya” tuka Bayu secara cepat dan kemudian ia
mengejarku.
Saat aku
masuk terlihat Sastri terbaring kaku dan suara monitor menampilkan grafis detak
jantungnya. Aku menatapnya dan mendekatinya bersama dengan Bayu yang juga ikut
di belakangku. Aku meraih tangannya lentiknya yang terinfus kemudian aku
memegangnya betapa tak menyangka tangan ini yang tadi memegang dan membaca buku
siang tadi bersama denganku tengah terdiam diruangan seperti ini. Tak lama
beberapa saat kemudian aku merasakan jari-jari yang aku pegang seperti bergerak
membuatku terkejut kemudian mendekati wajahnya.
“
Sastri, Sastri sayangku, apakah kau sudah sadar?” wajahku mendekat dan
berbicara lirih dekat dengan telinganya.
Mata
indahnya secara perlahan terbuka kemudian wajahnya menghadap wajahku berbekas
tangisan yang tengah menatapnya sedari tadi. Tanganku semakin erat memegang
jari-jari lembutnya. Jiwaku masih tak bisa menahan semua yang terjadi terutama
pada Sastri yang saat ini di hadapanku. Ia menatapku dengan alat oksigen dan
berselang, di sisi kanan-kiri mata indahnya ia mengalirkan sebuah air mata yang
berkilau hanya dengan raut datar tanpa dapat menunjukkan ekpresi apapun di
wajahnya.
“
Baiklah Sastri, aku bersyukur bisa bertemu denganmu. Kau akan baik-baik saja
setelah semua ini. Aku hanya ingin mengobrol denganmu, kau hanya perlu
mengedipkan matamu saja bila aku bertanya.” Jelasku lirih secara pelan, mataku
yang berlinang mencoba menatap mata
Sastri yang ikut meneteskan air mata saat aku melihatnya.
“Apakah
kau dibawa oleh mereka, setelah kita kecelakaan, Sastriku ? jika ia aku akan
menghabisi melapor mereka ke polisi setelah ini.” Aku masih melirih sambil
menatap di hapan wajahnya. Kemudian ia membalaasnya dengan mengedipkan matanya
yang berair itu.
“
Baiklah semuanya sudah jelas, tenanglah kita segera pergi dan jalan bersama, ke
kampus bersama dan ke perpustakaan favorit kita bersama. Kita akan ke kantin
bersama, makan bersama, setelah ini aku akan melindungimu dan ku jamin tak ada
yang membuntutimu atau mengganggumu lagi setelah ini. Kau akan baik-baik saja
dan tetap membuatku terpesona seperti sekarang ataupun seperti biasanya. Kau akan
sembuh, pasti kan? Berjanjilah padaku. Jangan pernah tinggalkan aku.” Jelasku
sambil tersenyum namun tangisku tak tertahankan.
Mata
indahnya yang tiba-tiba tanpa berkedip menunjukkan senyum di balik linangannya
dan aku merasa seperti mata itu memancarkan sinar-sinar kecil bagai kristal di tengah ruangan yang tidak terlalu
terang ini. Aku tersenyu melihatnya bisa tersenyum. Dan sekertika itu aku masih
menatap wajahnya, suara monitor yang mengagetkanku bagai badai yang mengakhiri
kehidupan itu menunjukkan frekuensi yang semakin cepat. Nafas Sastri
tersengal-sengal sangat hebat dan Bayu menghubungi dokter melalui alat panggilan darurat dekat ranjang Sastri,
seorang perawat masuk mengambil Defiblirator untuk memacu detak jantungnya.
Dokter masuk beberapa saat dan langsung mengecek tensinya. Aku yang menangis
melihat Sastri bersama Bayu yang ikut menangis pula mundur ke belakang
mendekati pintu dan Perawat langsung memacu jantungnya menggunakan alat
tersebut beberapa kali dan berualng kali. Namun monitor telah berdengung dan
grafis bergerak lurus.
Semua harapan hidup Sastri yang ingin hidup bersamaku,
berlayar mengarungi kerasnya kehidupan bersamaku telah sirna. Senyum indah dan
gingsul di giginya telah sirna hadir dihar-hariku. Wajah cantiknya takkan dapat
kulihat lagi saat aku mengunjungi fakultasnya. Aku tak akan pernah dapat
menemui dirinya yang tengah membaca buku dengan geraian rambut indah di tengah
perpustakaan sebelum kita janjian akan bertemu. Taka ada kesempatan lagi untuk
mencubit hidung bangirnya saat kami belajar bersama atau jalan bersama.
Tangisku pecah seketika menghampiri wajah pucatnya yang masih terlihat
mempesona meski sudah tak bernyawa. Aku mencoba memeluknya dan sempat meraih
tangannya, namun dokter segera menutup
wajah indah itu. Segala ingatan dan kenangan manis bersamaku yang Sastri miliki
ikut tertutup, namun itu tidak akan pernah terjadi padaku. Bayu yang ikut haru
menahanku saat aku memberontak sambil menangis hendak memeluk wanita yang telah
terbujur kaku itu. seisi ruangan bising dengan suara tangisanku yang menyebut
nama jasad cantik di hadapanku.
“ SASTRIIIIII!......”
30/4/2020
Perayaan hari makan Kue brownies sisa kemarin.
wahh, lengkap banget ya cerita nya :)
ReplyDelete